.

Melawan Penjajahan Udara

  • Oleh Hartanto
TEKNOLOGI informasi dan komunikasi telah dan akan selalu membawa film, program televisi dan produk media interaktif (internet, game, ponsel) lebih dekat kepada kita. Bahkan itu akan menyerbu ke ruang-ruang keluarga, ke ruang-ruang pendidikan dan lingkungan luar ruang dengan tanpa permisi.

Banyak film yang bernilai memberikan kita wawasan kehidupan yang luhur. Banyak program informasi di televisi yang memberikan kita pemahaman dan kesadaran baru, banyak program dalam media interaktif yang membawa kita mengarungi lautan ilmu pengetahuan yang nyaris tanpa batas.

Tetapi yang menjadi masalah adalah tidak semua nilai-nilai kemanusiaan yang disampaikan oleh film, televisi dan media interaktif bermanfaat untuk kehidupan kita. Isi film, materi tayangan televisi dan materi media interaktif, bisa kita bagi menjadi 3 golongan, yaitu yang bersifat ”madu” (bermanfaat), ”racun” (merusak) dan ”candu” (merusak perlahan-lahan).

Dari sini kita sepantasnya menyadari, siapkah kita menghadapi serbuan arus budaya global melalui film, televisi dan media-interaktif? Bagi masyarakat di kota besar dan dewasa mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tetapi bagaimana dengan masyarakat di kota kecil dan pedesaan? Juga bagaimana dengan anak-anak kita? Materi tayangan yang bersifat madu dan racun mungkin dengan mudah membedakan, tetapi bagaimana menghadapi tayangan yang bersifat candu? Tidak semua orang mampu untuk membedakan.

Jawaban untuk pertanyaan siapkah kita adalah dua kata: literasi media. Seminar, diskusi, pelatihan dengan topik literasi media sudah sering diadakan. Ada beberapa penerbitan yang mengarah pada pendidikan literasi media. Demikian juga dengan penelitian tentang literasi media dengan mudah bisa kita akses melalui internet.

Bahkan ada yang mengklaim sudah menulis disertasi tentang literasi media. Tetapi kalau kita coba tanyakan ke masyarakat umum, guru, atau pejabat pemerintah, pada umumnya tidak mampu menjelaskan esensinya. Bahkan orang media, termasuk praktisi penyiaran dan kreator film senior, kesulitan ketika diminta menjelaskan pemahaman mereka terhadap literasi media.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan literasi media? Secara sederhana literasi media diartikan sebagai melek media. Batasan yang lebih formal: ”Kemampuan mengakses, manganalisis, mengevaluasi dan mengkreasikan media”.

Dari batasan ini terkandung dua arah pengertian, yaitu kemampuan untuk membaca (decode) media dengan kritis dan kemampuan untuk menulis (encode) media. Berdasarkan batasan ini pula penulis berpendapat bahwa peng-arti-an literasi media sebagai melek media kurang tepat. Melek media adalah kemampuan untuk membaca media.

Setiap anak yang sudah bisa nonton acara televisi berarti sudah mulai belajar untuk membaca kode-kode yang ditampilkan oleh acara televisi, baik yang berupa visual, grafik maupun audio. Artinya setiap penonton televisi bisa dianggap sudah melek media. Penulis lebih cenderung menggunakan istilah kritis media dibanding melek media.

Di tengah hujan kritik terhadap acara televisi komersial, film Indonesia, dan penggunaan media interaktif yang tidak bertanggung jawab, perlu dilakukan langkah-langkah menyatukan kekuatan-kekuatan yang selama ini sudah mulai melakukan kegiatan literasi media.

Kita sebut saja misalnya Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), dosen-dosen di Universitas Indonesia, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Paramadina, Aisyiyah, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), LSM pemantau media, beberapa Dinas Infokom tingkat provinsi. Tidak dilupakan keikutsertaan beberapa perseorangan atau lembaga yang sudah melakukan langkah-langkah literasi media tetapi diluar pantauan penulis.

Gerakan Literasi Media

Marilah kita satukan langkah-langkah tersebut dalam ”Gerakan Literasi Media” . Gerakan ini dimulai dengan meningkatkan kajian, sosialisasi dan promosi literasi media secara luas dan berkesinambungan. Antara lain melalui seminar, lokakarya, publikasi media dan pembuatan jaringan para pelaku literasi media. Dalam hal ini kita bisa bekerjasama dengan media cetak, radio, lembaga penyiaran publik dan komunitas.

Selain itu kegiatan informal (pertemuan RT/RW, karang taruna, arisan, PKK) juga bisa digunakan untuk kepentingan ini. Bersamaan dengan itu kita juga harus mulai memotivasi agar literasi media bisa masuk kedalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari SD hingga perguruan tinggi (Di Malang Jawa Timur sudah ada sekolah dasar yang memasukkan literasi media kedalam muatan lokal).

Pendanaan

Masalah yang selalu menghantui setiap gerakan kemasyarakatan adalah masalah dana. ”Gerakan Literasi Media” membutuhkan dana besar. Untuk mengawali gerakan ini memang kita harus berjuang keras, kita harus mulai dengan dana dari partisipasi masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan hingga partispasi lembaga pendidikan. Perjuangan berikutnya adalah mendapatkan dana dari anggaran negara, yang pasti akan memerlukan proses yang panjang dan berliku. Dana dari lembaga internasional juga harus kita gali. UNICEF cukup punya perhatian dalam masalah ini.

Perjuangan lain adalah mendorong eksekutif dan legislatif membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyiaran televisi komersial menyisihkan dana sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya. Kita sudah selayaknya meminta tanggungjawab sosial televisi komersial karena mereka telah menggali dana masyarakat melalui belanja iklan. Kalau misalnya saja bisa disisihkan 1/1000 (satu permil) belanja iklan untuk kegiatan literasi media, itu akan sangat berarti.

Yang lebih menguatkan tuntutan kita adalah televisi swasta (yang menurut UU Penyiaran 2002, bersifat komersial) telah dan akan selalu memengaruhi masyarakat ke arah konsumtivisme dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan budaya dan kemampuan finansial sebagian besar anggota masyarakat kita.
Kalau literasi media berhasil dikembangkan sehingga masyarakat sudah menjadi kritis media, maka yang diuntungkan justru televisi swasta sendiri.

Penjelasannya begini: Gerakan literasi media membuat masyarakat bersikap kritis terhadap media. Artinya masyarakat hanya mau nonton acara yang berkualitas sehingga memaksa stasiun televisi swasta hanya menyiarkan acara yang berkualitas. Akhirnya akan meningkatkan citra stasiun televisi swasta sendiri.

Literasi media dengan sendirinya mencakup media cetak dan media interaktif: internet, game-video/ game-on line, dan ponsel. Perlu ditanamkan terutama pada anak-anak dan remaja bahwa media apa pun (cetak, elektronik, interaktif) selalu seperti pisau bermata dua; bisa sangat bermanfaat tetapi sekaligus bisa sangat membahayakan.

—Hartanto, dosen Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta
.

0 komentar:

Posting Komentar