.
.
Jumat, 10 Juli 2009
Senin, 06 Juli 2009
Banyak film yang bernilai memberikan kita wawasan kehidupan yang luhur. Banyak program informasi di televisi yang memberikan kita pemahaman dan kesadaran baru, banyak program dalam media interaktif yang membawa kita mengarungi lautan ilmu pengetahuan yang nyaris tanpa batas.
Tetapi yang menjadi masalah adalah tidak semua nilai-nilai kemanusiaan yang disampaikan oleh film, televisi dan media interaktif bermanfaat untuk kehidupan kita. Isi film, materi tayangan televisi dan materi media interaktif, bisa kita bagi menjadi 3 golongan, yaitu yang bersifat ”madu” (bermanfaat), ”racun” (merusak) dan ”candu” (merusak perlahan-lahan).
Dari sini kita sepantasnya menyadari, siapkah kita menghadapi serbuan arus budaya global melalui film, televisi dan media-interaktif? Bagi masyarakat di kota besar dan dewasa mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tetapi bagaimana dengan masyarakat di kota kecil dan pedesaan? Juga bagaimana dengan anak-anak kita? Materi tayangan yang bersifat madu dan racun mungkin dengan mudah membedakan, tetapi bagaimana menghadapi tayangan yang bersifat candu? Tidak semua orang mampu untuk membedakan.
Jawaban untuk pertanyaan siapkah kita adalah dua kata: literasi media. Seminar, diskusi, pelatihan dengan topik literasi media sudah sering diadakan. Ada beberapa penerbitan yang mengarah pada pendidikan literasi media. Demikian juga dengan penelitian tentang literasi media dengan mudah bisa kita akses melalui internet.
Bahkan ada yang mengklaim sudah menulis disertasi tentang literasi media. Tetapi kalau kita coba tanyakan ke masyarakat umum, guru, atau pejabat pemerintah, pada umumnya tidak mampu menjelaskan esensinya. Bahkan orang media, termasuk praktisi penyiaran dan kreator film senior, kesulitan ketika diminta menjelaskan pemahaman mereka terhadap literasi media.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan literasi media? Secara sederhana literasi media diartikan sebagai melek media. Batasan yang lebih formal: ”Kemampuan mengakses, manganalisis, mengevaluasi dan mengkreasikan media”.
Dari batasan ini terkandung dua arah pengertian, yaitu kemampuan untuk membaca (decode) media dengan kritis dan kemampuan untuk menulis (encode) media. Berdasarkan batasan ini pula penulis berpendapat bahwa peng-arti-an literasi media sebagai melek media kurang tepat. Melek media adalah kemampuan untuk membaca media.
Setiap anak yang sudah bisa nonton acara televisi berarti sudah mulai belajar untuk membaca kode-kode yang ditampilkan oleh acara televisi, baik yang berupa visual, grafik maupun audio. Artinya setiap penonton televisi bisa dianggap sudah melek media. Penulis lebih cenderung menggunakan istilah kritis media dibanding melek media.
Di tengah hujan kritik terhadap acara televisi komersial, film Indonesia, dan penggunaan media interaktif yang tidak bertanggung jawab, perlu dilakukan langkah-langkah menyatukan kekuatan-kekuatan yang selama ini sudah mulai melakukan kegiatan literasi media.
Kita sebut saja misalnya Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), dosen-dosen di Universitas Indonesia, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Paramadina, Aisyiyah, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), LSM pemantau media, beberapa Dinas Infokom tingkat provinsi. Tidak dilupakan keikutsertaan beberapa perseorangan atau lembaga yang sudah melakukan langkah-langkah literasi media tetapi diluar pantauan penulis.
Gerakan Literasi Media
Marilah kita satukan langkah-langkah tersebut dalam ”Gerakan Literasi Media” . Gerakan ini dimulai dengan meningkatkan kajian, sosialisasi dan promosi literasi media secara luas dan berkesinambungan. Antara lain melalui seminar, lokakarya, publikasi media dan pembuatan jaringan para pelaku literasi media. Dalam hal ini kita bisa bekerjasama dengan media cetak, radio, lembaga penyiaran publik dan komunitas.
Selain itu kegiatan informal (pertemuan RT/RW, karang taruna, arisan, PKK) juga bisa digunakan untuk kepentingan ini. Bersamaan dengan itu kita juga harus mulai memotivasi agar literasi media bisa masuk kedalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari SD hingga perguruan tinggi (Di Malang Jawa Timur sudah ada sekolah dasar yang memasukkan literasi media kedalam muatan lokal).
Pendanaan
Masalah yang selalu menghantui setiap gerakan kemasyarakatan adalah masalah dana. ”Gerakan Literasi Media” membutuhkan dana besar. Untuk mengawali gerakan ini memang kita harus berjuang keras, kita harus mulai dengan dana dari partisipasi masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan hingga partispasi lembaga pendidikan. Perjuangan berikutnya adalah mendapatkan dana dari anggaran negara, yang pasti akan memerlukan proses yang panjang dan berliku. Dana dari lembaga internasional juga harus kita gali. UNICEF cukup punya perhatian dalam masalah ini.
Perjuangan lain adalah mendorong eksekutif dan legislatif membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyiaran televisi komersial menyisihkan dana sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya. Kita sudah selayaknya meminta tanggungjawab sosial televisi komersial karena mereka telah menggali dana masyarakat melalui belanja iklan. Kalau misalnya saja bisa disisihkan 1/1000 (satu permil) belanja iklan untuk kegiatan literasi media, itu akan sangat berarti.
Yang lebih menguatkan tuntutan kita adalah televisi swasta (yang menurut UU Penyiaran 2002, bersifat komersial) telah dan akan selalu memengaruhi masyarakat ke arah konsumtivisme dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan budaya dan kemampuan finansial sebagian besar anggota masyarakat kita.
Kalau literasi media berhasil dikembangkan sehingga masyarakat sudah menjadi kritis media, maka yang diuntungkan justru televisi swasta sendiri.
Penjelasannya begini: Gerakan literasi media membuat masyarakat bersikap kritis terhadap media. Artinya masyarakat hanya mau nonton acara yang berkualitas sehingga memaksa stasiun televisi swasta hanya menyiarkan acara yang berkualitas. Akhirnya akan meningkatkan citra stasiun televisi swasta sendiri.
Literasi media dengan sendirinya mencakup media cetak dan media interaktif: internet, game-video/ game-on line, dan ponsel. Perlu ditanamkan terutama pada anak-anak dan remaja bahwa media apa pun (cetak, elektronik, interaktif) selalu seperti pisau bermata dua; bisa sangat bermanfaat tetapi sekaligus bisa sangat membahayakan.
—Hartanto, dosen Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta
Minggu, 05 Juli 2009
Pitching Forum telah dilaksanakan pada tanggal 3 juli 2009 di MetroTV. Pitching forum ini dimulai dari 15.00 hingga 21.30. Dalam pitching forum ini para semifinalis harus mempresentasikan ide cerita meraka dan melakukan tanya jawab dengan dewan juri yang terdiri dari Retno Shanti Ruwyastuti (wapemred MetroTV), Swasti Astra (Senior Manager NewsMag MetroTV), Abduh Aziz (Produser Dokumenter), Chandra Tanzil (Sutradara Dokumenter) dan Imran Amir (Direktur Prambors).
Dalam Pitching Forum ini para semifinalis diberikan waktu 20 menit untuk melakukan presentasi dan tanya dengan dewan juri. Setelah melalui proses Pitching Forum yang cukup panjang itu maka berikut tim yang lolos menjadi Finalis Eagle Awards 2009 "Indonesia Kreatif"
Untuk selanjutnya para finalis ini akan mengikuti Eagle Lab yaitu sebuah workshop yang akan membekali mereka dalam mewujudkan film dokumenter mulai tanggal 4-12 juli 2009.
Sabtu, 04 Juli 2009
China ing Grabag 1876
Sidik menulispada 31 Mei 2009 jam 12:18
sumber : Kyoto University Research Information Repository
Jaman tahun 1876 nang Grabag iku ono juragan jenenge The San, deknene bakul mbako sing gaweane ngumpulke mbako soko kadang tani sekitar grabag terus dikirim nang pelabuan Semarang banjur di ekspor. The San dewe pawongan soko Haicheng, China sing klebu generasi pertama teko nang Tanah Jawa, artine lahir nang Haicheng terus merantau tekan Grabag.
Rikala jaman semana, perjalanan Grabag - Semarang iku suwene 2 dino mlaku, leren nginep nang ambarawa (mungkin sing saiki akeh bakul serabi kui yo ?) isih ono macan lan sato kewan liyane sak dalan-dalan. The San manggon nang omah gedong gede, dikelilingi tembok duwur lan yen wancine sore, anak buahe podo masang ranjau pring kanggo njagani rampok lan maling. (Omahe sing endi yo ? ono sing ngerti ?)
Ora let suwe ono wong soko China teko meneh lan nyambut gawe nang omahe The San, jenenge Hwan-poo. Saking ulete olehe nyambut gawe lan gemi anggone nyimpen duit, ora nganti 5 tahun Hwan-poo wis iso usaha dagang dewe. Terus rabi lan due anak jenenge The Kong Liang.
Grabag jaman semono pernah ngalami dadi transit candu, dadi markas Partai Tiong Hoa Indonesia lan wis tau rame banget dibanding desa-desa liane. The Kong Liang kui salah siji tokoh china sing pengaruhe iso tekan Volksraad.
Sakwise jaman jepang, para china pada ngungsi
nah.. terus pegel nulise.. wis do riset dewe kono ! terutama cah grabag TV kui, digawe dokumenter terus melu festival kan apik.
http://ms-my.facebook.com/topic.php?uid=78348252213&topic=8302)
sumber : Kyoto University Research Information Repository
Jaman tahun 1876 nang Grabag iku ono juragan jenenge The San, deknene bakul mbako sing gaweane ngumpulke mbako soko kadang tani sekitar grabag terus dikirim nang pelabuan Semarang banjur di ekspor. The San dewe pawongan soko Haicheng, China sing klebu generasi pertama teko nang Tanah Jawa, artine lahir nang Haicheng terus merantau tekan Grabag.
Rikala jaman semana, perjalanan Grabag - Semarang iku suwene 2 dino mlaku, leren nginep nang ambarawa (mungkin sing saiki akeh bakul serabi kui yo ?) isih ono macan lan sato kewan liyane sak dalan-dalan. The San manggon nang omah gedong gede, dikelilingi tembok duwur lan yen wancine sore, anak buahe podo masang ranjau pring kanggo njagani rampok lan maling. (Omahe sing endi yo ? ono sing ngerti ?)
Ora let suwe ono wong soko China teko meneh lan nyambut gawe nang omahe The San, jenenge Hwan-poo. Saking ulete olehe nyambut gawe lan gemi anggone nyimpen duit, ora nganti 5 tahun Hwan-poo wis iso usaha dagang dewe. Terus rabi lan due anak jenenge The Kong Liang.
Grabag jaman semono pernah ngalami dadi transit candu, dadi markas Partai Tiong Hoa Indonesia lan wis tau rame banget dibanding desa-desa liane. The Kong Liang kui salah siji tokoh china sing pengaruhe iso tekan Volksraad.
Sakwise jaman jepang, para china pada ngungsi
nah.. terus pegel nulise.. wis do riset dewe kono ! terutama cah grabag TV kui, digawe dokumenter terus melu festival kan apik.
http://ms-my.facebook.com/topic.php?uid=78348252213&topic=8302)
.
Melawan Penjajahan Udara
- Oleh Hartanto
Banyak film yang bernilai memberikan kita wawasan kehidupan yang luhur. Banyak program informasi di televisi yang memberikan kita pemahaman dan kesadaran baru, banyak program dalam media interaktif yang membawa kita mengarungi lautan ilmu pengetahuan yang nyaris tanpa batas.
Tetapi yang menjadi masalah adalah tidak semua nilai-nilai kemanusiaan yang disampaikan oleh film, televisi dan media interaktif bermanfaat untuk kehidupan kita. Isi film, materi tayangan televisi dan materi media interaktif, bisa kita bagi menjadi 3 golongan, yaitu yang bersifat ”madu” (bermanfaat), ”racun” (merusak) dan ”candu” (merusak perlahan-lahan).
Dari sini kita sepantasnya menyadari, siapkah kita menghadapi serbuan arus budaya global melalui film, televisi dan media-interaktif? Bagi masyarakat di kota besar dan dewasa mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tetapi bagaimana dengan masyarakat di kota kecil dan pedesaan? Juga bagaimana dengan anak-anak kita? Materi tayangan yang bersifat madu dan racun mungkin dengan mudah membedakan, tetapi bagaimana menghadapi tayangan yang bersifat candu? Tidak semua orang mampu untuk membedakan.
Jawaban untuk pertanyaan siapkah kita adalah dua kata: literasi media. Seminar, diskusi, pelatihan dengan topik literasi media sudah sering diadakan. Ada beberapa penerbitan yang mengarah pada pendidikan literasi media. Demikian juga dengan penelitian tentang literasi media dengan mudah bisa kita akses melalui internet.
Bahkan ada yang mengklaim sudah menulis disertasi tentang literasi media. Tetapi kalau kita coba tanyakan ke masyarakat umum, guru, atau pejabat pemerintah, pada umumnya tidak mampu menjelaskan esensinya. Bahkan orang media, termasuk praktisi penyiaran dan kreator film senior, kesulitan ketika diminta menjelaskan pemahaman mereka terhadap literasi media.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan literasi media? Secara sederhana literasi media diartikan sebagai melek media. Batasan yang lebih formal: ”Kemampuan mengakses, manganalisis, mengevaluasi dan mengkreasikan media”.
Dari batasan ini terkandung dua arah pengertian, yaitu kemampuan untuk membaca (decode) media dengan kritis dan kemampuan untuk menulis (encode) media. Berdasarkan batasan ini pula penulis berpendapat bahwa peng-arti-an literasi media sebagai melek media kurang tepat. Melek media adalah kemampuan untuk membaca media.
Setiap anak yang sudah bisa nonton acara televisi berarti sudah mulai belajar untuk membaca kode-kode yang ditampilkan oleh acara televisi, baik yang berupa visual, grafik maupun audio. Artinya setiap penonton televisi bisa dianggap sudah melek media. Penulis lebih cenderung menggunakan istilah kritis media dibanding melek media.
Di tengah hujan kritik terhadap acara televisi komersial, film Indonesia, dan penggunaan media interaktif yang tidak bertanggung jawab, perlu dilakukan langkah-langkah menyatukan kekuatan-kekuatan yang selama ini sudah mulai melakukan kegiatan literasi media.
Kita sebut saja misalnya Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), dosen-dosen di Universitas Indonesia, Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Paramadina, Aisyiyah, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), LSM pemantau media, beberapa Dinas Infokom tingkat provinsi. Tidak dilupakan keikutsertaan beberapa perseorangan atau lembaga yang sudah melakukan langkah-langkah literasi media tetapi diluar pantauan penulis.
Gerakan Literasi Media
Marilah kita satukan langkah-langkah tersebut dalam ”Gerakan Literasi Media” . Gerakan ini dimulai dengan meningkatkan kajian, sosialisasi dan promosi literasi media secara luas dan berkesinambungan. Antara lain melalui seminar, lokakarya, publikasi media dan pembuatan jaringan para pelaku literasi media. Dalam hal ini kita bisa bekerjasama dengan media cetak, radio, lembaga penyiaran publik dan komunitas.
Selain itu kegiatan informal (pertemuan RT/RW, karang taruna, arisan, PKK) juga bisa digunakan untuk kepentingan ini. Bersamaan dengan itu kita juga harus mulai memotivasi agar literasi media bisa masuk kedalam kurikulum pendidikan formal, mulai dari SD hingga perguruan tinggi (Di Malang Jawa Timur sudah ada sekolah dasar yang memasukkan literasi media kedalam muatan lokal).
Pendanaan
Masalah yang selalu menghantui setiap gerakan kemasyarakatan adalah masalah dana. ”Gerakan Literasi Media” membutuhkan dana besar. Untuk mengawali gerakan ini memang kita harus berjuang keras, kita harus mulai dengan dana dari partisipasi masyarakat melalui kegiatan kemasyarakatan hingga partispasi lembaga pendidikan. Perjuangan berikutnya adalah mendapatkan dana dari anggaran negara, yang pasti akan memerlukan proses yang panjang dan berliku. Dana dari lembaga internasional juga harus kita gali. UNICEF cukup punya perhatian dalam masalah ini.
Perjuangan lain adalah mendorong eksekutif dan legislatif membuat peraturan yang mewajibkan lembaga penyiaran televisi komersial menyisihkan dana sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya. Kita sudah selayaknya meminta tanggungjawab sosial televisi komersial karena mereka telah menggali dana masyarakat melalui belanja iklan. Kalau misalnya saja bisa disisihkan 1/1000 (satu permil) belanja iklan untuk kegiatan literasi media, itu akan sangat berarti.
Yang lebih menguatkan tuntutan kita adalah televisi swasta (yang menurut UU Penyiaran 2002, bersifat komersial) telah dan akan selalu memengaruhi masyarakat ke arah konsumtivisme dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan budaya dan kemampuan finansial sebagian besar anggota masyarakat kita.
Kalau literasi media berhasil dikembangkan sehingga masyarakat sudah menjadi kritis media, maka yang diuntungkan justru televisi swasta sendiri.
Penjelasannya begini: Gerakan literasi media membuat masyarakat bersikap kritis terhadap media. Artinya masyarakat hanya mau nonton acara yang berkualitas sehingga memaksa stasiun televisi swasta hanya menyiarkan acara yang berkualitas. Akhirnya akan meningkatkan citra stasiun televisi swasta sendiri.
Literasi media dengan sendirinya mencakup media cetak dan media interaktif: internet, game-video/ game-on line, dan ponsel. Perlu ditanamkan terutama pada anak-anak dan remaja bahwa media apa pun (cetak, elektronik, interaktif) selalu seperti pisau bermata dua; bisa sangat bermanfaat tetapi sekaligus bisa sangat membahayakan.
—Hartanto, dosen Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta
.
Label:
Gerakan Literasi,
Hartanto,
IKJ,
UU Penyiaran 2002
Grabag TV Menanti Elang
Pitching Forum telah dilaksanakan pada tanggal 3 juli 2009 di MetroTV. Pitching forum ini dimulai dari 15.00 hingga 21.30. Dalam pitching forum ini para semifinalis harus mempresentasikan ide cerita meraka dan melakukan tanya jawab dengan dewan juri yang terdiri dari Retno Shanti Ruwyastuti (wapemred MetroTV), Swasti Astra (Senior Manager NewsMag MetroTV), Abduh Aziz (Produser Dokumenter), Chandra Tanzil (Sutradara Dokumenter) dan Imran Amir (Direktur Prambors).
Dalam Pitching Forum ini para semifinalis diberikan waktu 20 menit untuk melakukan presentasi dan tanya dengan dewan juri. Setelah melalui proses Pitching Forum yang cukup panjang itu maka berikut tim yang lolos menjadi Finalis Eagle Awards 2009 "Indonesia Kreatif"
- Taufan Agustiyan Prakoso dan Mohammad Abdul Malik dari Malang dengan judul proposal "Merajut Impian Dibalik Catwalk Jalanan". Ide Cerita : Kreatifitas anak-anak muda Jember yang tergabung di Jember Fashion Carnaval
- Devi Al Irsyadiyah dan Eko Rejoso Prabowo dari Yogyakarta dengan judul proposal "Bukan Negeri Sampah, Bukan Bangsa Pengemis". Ide Cerita: Bercerita tentang kreatifitas warga dusun Badegan dalam mengelola dan mengolah sampah dengan sistem Bank Sampah yang merupakan representasi modal sosial dan kearifan lokal yang dimiliki warga dalam bentuk sebuah lembaga lokal yang ingin memberikan efek positif terhadap kebersihan lingkungan untuk masyarakat luas.
- Agrha Adi P dan Lilis Sucahyo dari Bogor dengan judul proposal "Sang Pengumpul Asap" Ide Cerita: Mengenai penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menciptakan karya yang berguna bagi masyarakat, yaitu alat konversi limbah asap menjadi bentuk asap cair pada industri pembuatan arang tempurung kelapa untuk mengatasi permasalahan lingkungan serta menghasilkan produk yang bernilai ekonomi.
- Herlina Ratnafuri dan Ginanjar Iman Teguh dari magelang dengan judul proposal "Dunia Kecil Dalam Kotak". Ide Cerita : Bercerita tentang dunia kecil bernama Kecamatan Grabag dan segala kehidupannya yang tergambar dalam sebuah kotak televisi komunitas bernama Grabag TV.
- Bambang Rahkmantio dan Ryo Hadindra dari Semarang dengan judul proposal "Gorila Dari Gang Buntu". Ide Cerita:
bercerita tentang sebuah tempat fitness yang bernama Gorila. Tempat fitness ini berbeda dengan tempat Fitness lainnya yang memiliki alat-alat modern, di tempat tertutup, ber-AC, dan mahal. Di Gorila berbanding terbalik 180 derajad dari kebanyakan tempat fitness yang lain. Tempat Fitness ini berada di luar ruangan yaitu tepatnya pada sebuah gang, yang ramai dilalui orang, dan kendaraan motor lainnya. Mengenai peralatan jauh dari kata modern. Sarana Fitness di “Gorila” berbeda dengan di Gym pada umumnya. Alat-alat fitness di “Gorila” terbuat dari barang-barang bekas ,besi yang sudah tidak terpakai lagi, dan bahan material untuk bangunan, yang dirubah menjadi suatu alat Fitness. Tetapi walaupun alatnya “aneh” hasilnya yang latihan di “Gorila” tidak kalah dengan atlet binaraga nasional Ade Rai. Mengenai biaya tidak jadi masalah, bagi siapa saja yang ingin berolahraga dan ingin sehat dipersilahkan dengan membayar seikhlasnya. Masalah atau kendala yang dialami“Gorila” adalah faktor cuaca, karena tempatnya out door, jika hujan tempat fitness ini tidak dapat digunakan.
Untuk selanjutnya para finalis ini akan mengikuti Eagle Lab yaitu sebuah workshop yang akan membekali mereka dalam mewujudkan film dokumenter mulai tanggal 4-12 juli 2009.
.
GRABAG TV DALAM BUKU TELEVISI KOMUNITAS
Tiap televisi komunitas memiliki tekanan dan fokus siaran yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi komunitas masing-masing. Di Grabag TV hampir seratus persen program diproduksi sendiri, semuanya tentang sesuatu yang ada di Grabag, sesekali tentang daerah lain di sekitarnya. Dengan proses produksi seperti itu, warga Grabag secara luas diharapkan bisa terlibat ataupun tampil di Grabag TV.
Grabag TV mempunyai tiga tema utama: pertanian dan wirausaha, pendidikan, dan kesenian. Pemilihan tiga tema itu berdasarkan realitas sosial di Grabag di mana warganya sebagian besar hidup dari pertanian, sebagian lainnya dengan wirausaha. Tema pendidikan dan kesenian muncul lebih karena visi Grabag TV yang ingin mengusung kesenian-kesenian tradisional serta menjadi media pendidikan bagi warganya. Siaran tentang seni tradisi dan kesenian rakyat, selain menjadi hiburan bagi warga, juga menjadi media apresiasi terhadap seni tradisi lokal, sekaligus mendidik masyarakat untuk menjaga nilai-nilai dan tradisi lokal.
Pada televisi komunitas lain, sejumlah orang tampak berdebat bak politikus kawakan di layar televisi. Mereka adalah para calon Kepala Desa yang sedang berdebat, lokasinya bukan di studio ber-AC atau hotel berbintang yang didisain sebagai tempat debat calon Gubernur atau calon Presiden sebagaimana biasa kita lihat di layar televisi swasta, namun perdebatan mereka berlokasi di halaman balai desa, duduk melingkar di kursi plastik dengan dekorasi seadanya. Beberapa penonton di “studio alamiah” tersebut malah terlihat bekerudung sarung untuk mengusir hawa dingin. Sesekali debat yang seru itu diselingi nyanyian biduan lokal berupa lagu campursari, penyanyi pun berjoget bak bintang kontes dangdut. Meriah!
Acara debat calon Kepala Desa tersebut adalah bagian dari program Grabag TV dalam meliput proses pemilihan kepala desa Grabag pada tahun 2007. Grabag TV bahkan menyelenggarakan siaran langsung seharian penuh, dari pagi hari hingga malam hari, mulai dari pencoblosan hingga penghitungan suara. Jadi, waktu itu sebagian warga Grabag lebih memilih mengikuti proses penghitungan suara dari rumah masing-masing, melalui siaran Grabag TV. Begitu juga, waktu mau ‘nyoblos’, warga memantau melalui Grabag TV, apakah TPS masih ramai dan antri ataukah tidak. Sebelumnya, Grabag TV juga menyelenggarakan acara bertajuk “Gendu-Gendhu Roso”, bertujuan menggali aspirasi warga tentang sosok kepala desa yang mereka inginkan. Dengan peliputan proses pilkades ini, partisipasi warga Grabag meningkat tajam.
Selain tentang kegiatan komunitas, isi siaran televisi komunitas bisa berupa everyday life warga setempat, misalnya tentang pertanian, pasar, aktifitas di balai desa, sekolah, atau lainnya. Hal ini bisa diterapkan sebagai strategi memperluas keterlibatan warga. Misalnya, untuk melibatkan kelompok-kelompok RT, tiap RT diminta membuat program yang menjelaskan seluk beluk RT masing-masing. Untuk melibatkan guru-guru sekolah, televisi komunitas bisa menjadi media ajar bagi mereka.
Contoh nyata adalah program reportase tentang bertanam cabe yang diproduksi warga Grabag dari lahan miliknya sendiri. Berbekal camera handycam seharga 2 juta dibantu tripod seharga 100 ribu milik Grabag TV, warga Grabag tersebut berperan sebagai kameramen sekaligus reporter. Setelah memberikan narasi pembuka dengan teknik kamera close up kepada dirinya sebagai reporter, sejenak kemudian ia berhenti dan mendekat ke kamera, merubah shot kamera menjadi long shoot agar petani yang berdiri di sampingnya masuk dalam sorotan kamera. Kemudian sang reporter yang juga merangkap kameramen tersebut melanjutkan reportasenya dengan melakukan wawancara terhadap petani sebagai narasumber.
Sungguh menggelikan sekaligus menghibur karena disiarkan melalui televisi tanpa proses editing yang sempurna, penampilan reporter yang terpaksa bolak-balik ke kamera dan si petani yang sesekali terlihat melirik ke kamera menjadi warna tersendiri bagi program siaran ala televisi komunitas tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, televisi komunitas bisa menyelenggarakan acara yang memang dirancang secara khusus untuk mendukung peran dan visinya di tengah-tengah komunitas. Misalnya, Grabag TV mempunyai misi menjadi agen pendidikan literasi media bagi masyarakat, maka Grabag TV menyelenggarakan talkshow tentang literasi media dengan menghadirkan pembicara yang kompeten. Dalam hal pendidikan jurnalistik, Grabag TV pernah mengadakan talkshow tentang jurnalisme warga.
Saat ini televisi komunitas menjadi televisi alternatif di mata masyarakat. Sebagai contoh, sore hari warga Grabag terbiasa menyaksikan Grabag TV, malam harinya mereka tetap menonton televisi nasional. Dengan menjaga semangat partisipasi, kebebasan, dan keadilan di tengah-tengah komunitas, bukan tidak mungkin suatu saat televisi komunitas akan menjadi televisi utama di mata warga, bukan sekadar televisi alternatif.
Grabag TV mempunyai tiga tema utama: pertanian dan wirausaha, pendidikan, dan kesenian. Pemilihan tiga tema itu berdasarkan realitas sosial di Grabag di mana warganya sebagian besar hidup dari pertanian, sebagian lainnya dengan wirausaha. Tema pendidikan dan kesenian muncul lebih karena visi Grabag TV yang ingin mengusung kesenian-kesenian tradisional serta menjadi media pendidikan bagi warganya. Siaran tentang seni tradisi dan kesenian rakyat, selain menjadi hiburan bagi warga, juga menjadi media apresiasi terhadap seni tradisi lokal, sekaligus mendidik masyarakat untuk menjaga nilai-nilai dan tradisi lokal.
Pada televisi komunitas lain, sejumlah orang tampak berdebat bak politikus kawakan di layar televisi. Mereka adalah para calon Kepala Desa yang sedang berdebat, lokasinya bukan di studio ber-AC atau hotel berbintang yang didisain sebagai tempat debat calon Gubernur atau calon Presiden sebagaimana biasa kita lihat di layar televisi swasta, namun perdebatan mereka berlokasi di halaman balai desa, duduk melingkar di kursi plastik dengan dekorasi seadanya. Beberapa penonton di “studio alamiah” tersebut malah terlihat bekerudung sarung untuk mengusir hawa dingin. Sesekali debat yang seru itu diselingi nyanyian biduan lokal berupa lagu campursari, penyanyi pun berjoget bak bintang kontes dangdut. Meriah!
Acara debat calon Kepala Desa tersebut adalah bagian dari program Grabag TV dalam meliput proses pemilihan kepala desa Grabag pada tahun 2007. Grabag TV bahkan menyelenggarakan siaran langsung seharian penuh, dari pagi hari hingga malam hari, mulai dari pencoblosan hingga penghitungan suara. Jadi, waktu itu sebagian warga Grabag lebih memilih mengikuti proses penghitungan suara dari rumah masing-masing, melalui siaran Grabag TV. Begitu juga, waktu mau ‘nyoblos’, warga memantau melalui Grabag TV, apakah TPS masih ramai dan antri ataukah tidak. Sebelumnya, Grabag TV juga menyelenggarakan acara bertajuk “Gendu-Gendhu Roso”, bertujuan menggali aspirasi warga tentang sosok kepala desa yang mereka inginkan. Dengan peliputan proses pilkades ini, partisipasi warga Grabag meningkat tajam.
Selain tentang kegiatan komunitas, isi siaran televisi komunitas bisa berupa everyday life warga setempat, misalnya tentang pertanian, pasar, aktifitas di balai desa, sekolah, atau lainnya. Hal ini bisa diterapkan sebagai strategi memperluas keterlibatan warga. Misalnya, untuk melibatkan kelompok-kelompok RT, tiap RT diminta membuat program yang menjelaskan seluk beluk RT masing-masing. Untuk melibatkan guru-guru sekolah, televisi komunitas bisa menjadi media ajar bagi mereka.
Contoh nyata adalah program reportase tentang bertanam cabe yang diproduksi warga Grabag dari lahan miliknya sendiri. Berbekal camera handycam seharga 2 juta dibantu tripod seharga 100 ribu milik Grabag TV, warga Grabag tersebut berperan sebagai kameramen sekaligus reporter. Setelah memberikan narasi pembuka dengan teknik kamera close up kepada dirinya sebagai reporter, sejenak kemudian ia berhenti dan mendekat ke kamera, merubah shot kamera menjadi long shoot agar petani yang berdiri di sampingnya masuk dalam sorotan kamera. Kemudian sang reporter yang juga merangkap kameramen tersebut melanjutkan reportasenya dengan melakukan wawancara terhadap petani sebagai narasumber.
Sungguh menggelikan sekaligus menghibur karena disiarkan melalui televisi tanpa proses editing yang sempurna, penampilan reporter yang terpaksa bolak-balik ke kamera dan si petani yang sesekali terlihat melirik ke kamera menjadi warna tersendiri bagi program siaran ala televisi komunitas tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, televisi komunitas bisa menyelenggarakan acara yang memang dirancang secara khusus untuk mendukung peran dan visinya di tengah-tengah komunitas. Misalnya, Grabag TV mempunyai misi menjadi agen pendidikan literasi media bagi masyarakat, maka Grabag TV menyelenggarakan talkshow tentang literasi media dengan menghadirkan pembicara yang kompeten. Dalam hal pendidikan jurnalistik, Grabag TV pernah mengadakan talkshow tentang jurnalisme warga.
Saat ini televisi komunitas menjadi televisi alternatif di mata masyarakat. Sebagai contoh, sore hari warga Grabag terbiasa menyaksikan Grabag TV, malam harinya mereka tetap menonton televisi nasional. Dengan menjaga semangat partisipasi, kebebasan, dan keadilan di tengah-tengah komunitas, bukan tidak mungkin suatu saat televisi komunitas akan menjadi televisi utama di mata warga, bukan sekadar televisi alternatif.
.
Profil Grabag TV
Grabag adalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Alamnya subur, dengan ketinggian sekitar 680 m diatas permukaan laut, dengan demikian iklimnya cukup sejuk, cukup ideal sebagai daerah pertanian dan tempat tinggal.
Tetapi tidak seperti daerah lainnya yang bergelimang dengan informasi dan hiburan melalui televisi, daerah Grabag adalah termasuk dalam “blank spot“. Kalau daerah–daerah lain bisa menikmati paling sedikit 5 siaran TV Nasional, maka warga masyarakat Grabag harus cukup puas dengan menikmati siaran TVRI saja, kecuali bagi warga yang berkecukupan bisa membeli perangkat parabola sehingga bisa menerima seluruh siaran TV swasta Nasional : RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, Anteve, Trans TV, Metro TV, Global TV, Lativi dan TV-7. Bahkan dengan parabola tersebut kita bisa menikmati siaran TV Lokal dan TV Khusus seperti Bali TV, Space Toon dll Tetapi bagi sebagian besar warga masyarakat Grabag, parabola adalah sebuah kemewahan.
Saat ini memang sebagian warga Grabag bisa menikmati siaran RCTI dan Trans TV melalui sarana relai yang ada di kecamatan, tetapi daya jangkaunya terbatas, sehingga tidak bisa mencakup seluruh area kecamatan yang luas. Kwalitas gambar serta suaranya pun masih dibawah standar.
Justru karena wilayah kecamatan Grabag berada dalam “blank spot”, dimana tidak banyak limpahan siaran TV yang bisa dinikmati warga masyarakat, maka televisi komunitas memiliki kemungkinan luas untuk dikembangkan, inilah yang menjadi “modal awal” untuk mendukung niatan mendirikan “Grabag-TV”. Dikatakan “modal” awal, karena masih banyak yang harus dipersiapkan dan diadakan.
VISI
“Grabag TV” menjadi sebuah wadah pengembangan masyarakat melalui siaran televisi pedesaan, yang merupakan media kreasi dan komunikasi “multi arah” secara berimbang dan demokratis.
MISI
Saat ini pelatihan sudah sampai angkatan ke 4 dan telah menghasilkan lebih dari 25 orang yang siap memproduksi acara untuk “Grabag TV”.
Mereka terdiri dari berbagai profesi, antara lain : guru, mahasiswa, pelajar, petani, penyuluh pertanian, pengemudi truk, pembawa acara, mantan TKI, tukang ojek, penjaga wartel, penyanyi, karyawan swasta, PNS, Kades, Sekdes, kameraman video perkawinan.
Di Kecamatan Grabag pesaing utama Grabag TV adalah TV Swasta. Dengan relai yang ada di kecamatan, masyarakat bisa menikmati siaran stasiun RCTI setiap hari selama 24 jam. Area yang terjangkau pemancar di kecamatan tersebut sekitar jarak 5 kilometer, di beberapa tempat bisa lebih dari itu. Bagi TV komunitas memang berat bersaing dengan TV Swasta. Pesaing lain adalah semakin banyaknya anggota masyarakat yang memiliki parabola yang bisa menangkap siaran seluruh TV yang ada di Jakarta ditambah beberapa siaran dari televisi asing.
Strategi Grabag TV menghadapi “pesaingnya” adalah :
TV Swasta bisa menyiarkan acara yang dikemas mewah dan atraktif karena dukungan dana dari pemasukan iklan, TV Publik bisa menjaga kelangsungannya karena mendapat APBN/APBD ditambah dari pemasukan iklan, TV Berlangganan tetap eksis karena adanya iuran dari pelanggan. Bagaimana dengan TV Komunitas?.
Dalam PP 51 tahun 2005 pasal 27 disebutkan :
- Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Sedangkan pasal 34 menyatakan :
Grabag TV dikembangkan bukan oleh orang-orang gila, tetapi oleh sekelompok anggota masyarakat yang menyadari betapa strategisnya peran TV Komunitas untuk ikut menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat serbuan budaya global. Karena itulah dengan berbagai cara Grabag TV bertahan untuk terus bisa siaran, terutama nanti setelah ijin penyiaran leluar. Tetapi memang kemampuan warga terbatas, tidak semua kebutuhan mampu dibiayai secara mandiri, karena itulah Grabag TV perlu mengetuk hati nurani para donatur, para pejabat pemerintah, para pengusaha, untuk bisa memberikan dukungan dana atau sumbangan sarana kepada Grabag TV dan atau TV Komunitas lainnya.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat betapa pentingnya media alternatif yang mampu mengimbangi dominasi media komersial, maka prospek TV Komunitas sangat menjanjikan. Perlu ditegaskan lagi prospek dan peran strategis TV Komunitas sebagai salah satu komponen penyelamat bangsa Indonesia dari kehancuran dimasa depan, yaitu :
Tetapi tidak seperti daerah lainnya yang bergelimang dengan informasi dan hiburan melalui televisi, daerah Grabag adalah termasuk dalam “blank spot“. Kalau daerah–daerah lain bisa menikmati paling sedikit 5 siaran TV Nasional, maka warga masyarakat Grabag harus cukup puas dengan menikmati siaran TVRI saja, kecuali bagi warga yang berkecukupan bisa membeli perangkat parabola sehingga bisa menerima seluruh siaran TV swasta Nasional : RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, Anteve, Trans TV, Metro TV, Global TV, Lativi dan TV-7. Bahkan dengan parabola tersebut kita bisa menikmati siaran TV Lokal dan TV Khusus seperti Bali TV, Space Toon dll Tetapi bagi sebagian besar warga masyarakat Grabag, parabola adalah sebuah kemewahan.
Saat ini memang sebagian warga Grabag bisa menikmati siaran RCTI dan Trans TV melalui sarana relai yang ada di kecamatan, tetapi daya jangkaunya terbatas, sehingga tidak bisa mencakup seluruh area kecamatan yang luas. Kwalitas gambar serta suaranya pun masih dibawah standar.
Justru karena wilayah kecamatan Grabag berada dalam “blank spot”, dimana tidak banyak limpahan siaran TV yang bisa dinikmati warga masyarakat, maka televisi komunitas memiliki kemungkinan luas untuk dikembangkan, inilah yang menjadi “modal awal” untuk mendukung niatan mendirikan “Grabag-TV”. Dikatakan “modal” awal, karena masih banyak yang harus dipersiapkan dan diadakan.
VISI
“Grabag TV” menjadi sebuah wadah pengembangan masyarakat melalui siaran televisi pedesaan, yang merupakan media kreasi dan komunikasi “multi arah” secara berimbang dan demokratis.
MISI
- Melaksanakan pengembangan masyarakat melalui informasi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan material dan spiritual.
- Melaksanakan pengembangan masyarakat agar memiliki hak dan kemampuan menggunakan sarana audio visual sebagai sarana penyaluran aspirasi, sarana kontrol sosial, sarana ekspresi dan wadah kreasi.
- Menjadi agen pendidikan Literasi Media untuk mempersiapkan masyarakat agar memiliki sikap kritis terhadap media sehingga “imun” menghadapi pengaruh negatif media
- Meningkatkan harkat dan martabat warga masyarakat melelui pelestarian dan pengembangan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
Saat ini pelatihan sudah sampai angkatan ke 4 dan telah menghasilkan lebih dari 25 orang yang siap memproduksi acara untuk “Grabag TV”.
Mereka terdiri dari berbagai profesi, antara lain : guru, mahasiswa, pelajar, petani, penyuluh pertanian, pengemudi truk, pembawa acara, mantan TKI, tukang ojek, penjaga wartel, penyanyi, karyawan swasta, PNS, Kades, Sekdes, kameraman video perkawinan.
Di Kecamatan Grabag pesaing utama Grabag TV adalah TV Swasta. Dengan relai yang ada di kecamatan, masyarakat bisa menikmati siaran stasiun RCTI setiap hari selama 24 jam. Area yang terjangkau pemancar di kecamatan tersebut sekitar jarak 5 kilometer, di beberapa tempat bisa lebih dari itu. Bagi TV komunitas memang berat bersaing dengan TV Swasta. Pesaing lain adalah semakin banyaknya anggota masyarakat yang memiliki parabola yang bisa menangkap siaran seluruh TV yang ada di Jakarta ditambah beberapa siaran dari televisi asing.
Strategi Grabag TV menghadapi “pesaingnya” adalah :
- “Menjual” kelokalan atau kedekatan Grabag TV dengan penontonnya.
- Menjadikan Grabag TV sebagai media yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, terutama untuk kepentingan aspirasi, ekspresi dan kreasi.
- Menjadikan masyarakat sebagai produser atau kreator program televisi secara aktif
- Menjaga agar materi siaran selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga masyarakat selalu merasa membutuhkan siaran Grabag TV.
TV Swasta bisa menyiarkan acara yang dikemas mewah dan atraktif karena dukungan dana dari pemasukan iklan, TV Publik bisa menjaga kelangsungannya karena mendapat APBN/APBD ditambah dari pemasukan iklan, TV Berlangganan tetap eksis karena adanya iuran dari pelanggan. Bagaimana dengan TV Komunitas?.
Dalam PP 51 tahun 2005 pasal 27 disebutkan :
- Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Sedangkan pasal 34 menyatakan :
- Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan dengan modal awal yang diperoleh dari kontribusi komunitasnya yang berasal dari 3 orang atau lebih yang selanjutnya menjadi milik komunitasnya.
- Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat
- Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menerima bantuan dana awal pendirian dan dana operasional dari pihak asing.
Grabag TV dikembangkan bukan oleh orang-orang gila, tetapi oleh sekelompok anggota masyarakat yang menyadari betapa strategisnya peran TV Komunitas untuk ikut menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat serbuan budaya global. Karena itulah dengan berbagai cara Grabag TV bertahan untuk terus bisa siaran, terutama nanti setelah ijin penyiaran leluar. Tetapi memang kemampuan warga terbatas, tidak semua kebutuhan mampu dibiayai secara mandiri, karena itulah Grabag TV perlu mengetuk hati nurani para donatur, para pejabat pemerintah, para pengusaha, untuk bisa memberikan dukungan dana atau sumbangan sarana kepada Grabag TV dan atau TV Komunitas lainnya.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat betapa pentingnya media alternatif yang mampu mengimbangi dominasi media komersial, maka prospek TV Komunitas sangat menjanjikan. Perlu ditegaskan lagi prospek dan peran strategis TV Komunitas sebagai salah satu komponen penyelamat bangsa Indonesia dari kehancuran dimasa depan, yaitu :
- TV Komunitas merupakan sarana pemberdayaan masyarakat untuk menuju pada “kesejahteraan” material dan spiritual.
- TV Komunitas menjadi “agen Pendidikan melek media)” - ikut mempersiapkan masyarakat agar memiliki sikap kritis terhadap media sehingga memiliki “imunitas” terhadap pengaruh negatif media (media cetak, film, televisi, internet, game, ponsel dan media interaktif lainnya)
- TV Komunitas menjadi sarana pelestarian nilai-nilai tradisi yang luhur, sebagai imbangan arus budaya global
.
Langganan:
Postingan (Atom)